Mantri Pajak

KANAL INFO PRAKTIS PERPAJAKAN

 
Selamat Datang

Rahman.Sur's Profile
Absensi

By: TwitterButtons.com
By TwitterButtons.com


Facebook Badges


ShoutMix chat widget

Statistik

web site traffic stats

Langganan Artikel

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

Pemeriksa Pajak Masih Kurang ?
31 Mar 2009
Ditrjen Pajak Masih Kekurangan Petugas Pemeriksa

Kontan Online, 30 Maret 2009


JAKARTA. Ada banyak faktor yang menyebabkan penerimaan negara dari sektor pajak masih belum juga optimal. Salah satunya, jumlah petugas pemeriksa Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak yang tidak sebanding dengan wajib pajak yang sudah mencapai angka 12,7 juta.

Direktur Jenderal Pajak Darmin Nasution mengatakan, idealnya rasio jumlah petugas pemeriksa pajak seperti di negara-negara lain, yakni sebanyak 30% sampai 35% dari total jumlah pegawai pajak. "Kalau kami masih di bawah 10%," katanya di Jakarta, akhir pekan lalu.

Dengan rasio yang tidak lebih dari 10%, artinya jumlah petugas pemeriksa pajak di Indonesia hanya sekitar 3.400 orang saja. Soalnya, jumlah pegawai Ditjen Pajak saat ini ada 34.000 orang.

Padahal, menurut Darmin, satu orang petugas pemeriksa dalam setahun maksimal cuma bisa menangani delapan kasus doang. "Kami perlu waktu untuk memeriksa kasus. Namun, kami terus melakukan rekrutmen," ujar Darmin lagi.

Darussalam, pengamat pajak Universitas Indonesia, melihat, Ditjen Pajak tidak hanya harus menambah jumlah petugas pemeriksa pajak. Mereka juga mesti meningkatkan kualitas pemeriksaan pajak untuk mendapatkan penerimaan yang optimal.

Sebetulnya, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Perpajakan Hariyadi B. Sukamdani menyatakan, sebetulnya Ditjen Pajak bisa meningkatkan kualitas pemeriksaan pajak lewat sistem pajak online. "Ini untuk menutup kekurangan petugas pemeriksa sehingga mereka dapat lebih optimal bekerja," katanya.

Martina Prianti

Satu lagi atensi dari boss besar Pak Darmin terhadap pemeriksa pajak, atensi terhadap realita yang ada sekarang sekaligus fungsionalisasi pemeriksa pajak dalam rencana strategis DJP kedepannya.

Tersirat dari pernyataan beliau para pemeriksa pajak diharapkan menjadi salah satu faktor terpenting optimalisasi penerimaan pajak, untuk itu proses rekruitment terus berlanjut sampai saat ini.

Apakah dengan rekruitmen dalam arti menambah jumlah pemeriksa pajak hal ini bisa terwujud ? 

Dengan porsentase jumlah pemeriksa pajak terhadap seluruh jumlah pegawai pajak yang mencapai 30% sd 35%  seperti contoh yang terjadi dibeberapa negara merupakan salah satu bentuk ideal yang diharapkan, tetapi akan menjadi sia-sia apabila tidak diikuti dengan peningkatan kualitas pemeriksaan itu sendiri seperti yang diungkapkan Pak Darussalam diatas. 

Dengan peningkatan kualitas pemeriksaan maupun kualitas pemeriksa pajak itu sendiri, inovasi tekhnik dan juga trik pemeriksaan pajak akan bermunculan dengan sendirinya karena terdapatnya persaingan menghasilkan pemeriksaan dengan kualitas tertentu.

Tidak hanya penerapan sistem pajak online tetapi inovasi dan tekhnik - tekhnik pemeriksaan lain akan semakin beragam seiring juga dengan perkembangan dan inovasi lain dunia usaha yang terhubung secara langsung maupun tidak langsung dengan pajak, cara pembelajaran dan peningkatan kualitas pemeriksaan pajak dengan sistem berkesinambungan akan sangat diperlukan untuk menghadapi segala keterbatasan dan ketertinggalan seperti sekarang ini. 

Untuk mencapai hal ini tidak bisa dibebankan terhadap para pemeriksa pajak semata, sangat dibutuhkan dukungan dan sokongan baik dari internal institusi maupun wajib pajak, sudah bukan rahasia lagi pemeriksaan di lembaga apapun dan di manapun juga sudah sangat dekat dengan yang namanya godaan dan iming - iming.

Institusi DJP tentunya sudah memasang alarm sebagai antisipasi kemungkinan terburuk sekalipun, pengawasan dan rambu-rambu sudah sangat jelas disitu ada reward dan punishment nya.

Otokritik terhadap DJP sebagai institusinya orang pajak agar bisa secara konsisten menerapkan punishment sesuai aturan yang ada, tetapi bukan hanya sisi ini saja yang dikedepankan , sisi reward dan penghargaan juga tidak harus dinomor duakan, karena kedua-dua nya sama - sama memiliki peran dan urgensinya yang sama.

Hasil inventarisir dan otokritik kebijakan terhadap pemeriksa pajak di lingkungan DJP berikut ini
( masalah angka kredit pemeriksa pajak tidak konsisten dijalankan sesuai aturan yang berlaku, secara berjamaah melanggar ketentuan tersebut dengan dalih kebijakan,  pola mutasi dan promosi  pemeriksa pajak seperti apa yang ada di DJP ? saya sendiri dan saya yakin sebagian besar pemeriksa pajak tidak tahu akan hal ini, Tunjangan tambahan sebagai fungsional pemeriksa pajak di DJP tidak pernah dibayarkan apa maksud semua ini apakah ini juga pelanggaran aturan secara berjamaah dengan dalih kebijakan ), sudahlah ini memang menjadi realita yang ada sekarang terkait pemeriksa pajak, mudah-mudahan peningkatan kualitas pemeriksaan pajak juga diikuti dengan peningkatan kualitas unsur-unsur lain penunjang pemeriksaan pajak. 





Label:

posted by rahman.sur @ 08.32   2 comments
Klinik Mantri Pajak (2) : Penyesuaian Fiskal Positif
25 Mar 2009
Yang dimaksud dengan penyesuaian fiskal positif adalah penyesuaian terhadap penghasilan neto komersial ( di luar unsur penghasilan yang dikenakan PPh final dan yang tidak termasuk Objek Pajak ) dalam rangka menghitung Penghasilan Kena Pajak berdasarkan UU PPh beserta peraturan pelaksanaannya, yang bersifat menambah penghasilan dan atau mengurangi biaya-biaya komersial.

Pertama harus mengerti apa itu penghasilan neto komersial ?
Penghasilan Neto Komersial adalah penghasilan neto menurut prinsip akuntansi komersial/keuangan Indonesia, yakni semua penghasilan yang diterima dan atau diperoleh dari kegiatan usaha dan dari luar kegiatan usaha di Indonesia, termasuk penghasilan yang dikenakan PPh final dan yang tidak termasuk Objek Pajak, dikurangi dengan pengeluaran / biaya-biaya sesuai dengan sistem dan metode akuntansi komersial Indonesia yang dianut secara taat azas, sebelum dilakukan penyesuaian-penyesuaian fiskal berdasarkan UU PPh dan peraturan pelaksanaannya.

Kedua tujuan dilakukannya penyesuaian fiskal positif dalam rangka menghitung Penghasilan Kena Pajak (PhKP) berdasarkan Undang - undang PPh dan peraturan pelaksanaannya.

Ketiga penyesuaian fiskal positif bersifat menambah penghasilan dan atau mengurangi biaya-biaya komersial.

Berikut ini penyesuaian fiskal positif  yang harus dilakukan : 

Penyesuaian berdasarkan Pasal 9 ayat (1) huruf b UU PPh, pengeluaran perusahaan untuk pembelian / perbaikan rumah atau kendaraan pribadi, biaya perjalanan pribadi / keluarga, biaya premi asuransi pribadi / keluarga, dan pengeluaran lainnya untuk kepentingan pemegang saham, sekutu, atau anggota, tidak dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan.

Penyesuaian berdasarkan Pasal 9 ayat (1) huruf c UU PPh, pembentukan atau pemupukan dana cadangan secara fiskal tidak dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan. Namun untuk jenis-jenis usaha tertentu yang secara ekonomis memang diperlukan adanya cadangan untuk menutup beban atau kerugian yang akan terjadi di kemudian hari, secara fiskal diperkenankan, yang terbatas pada : piutang tak tertagih untuk usaha bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi ( financial lease ), cadangan klaim dan cadangan kerugian untuk usaha asuransi, serta cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan.

Berdasarkan Pasal 4 ayat (3) huruf d UU PPh, penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan ( benefit in-kind ) bukan merupakan penghasilan bagi pegawai yang bersangkutan. Oleh karena itu sesuai dengan prinsip taxability and deductibility, penyesuaian berdasarkan Pasal 9 ayat (1) huruf e UU PPh, bagi Wajib Pajak pemberi kerja tidak dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan. Namun pemberian natura berupa penyediaan makanan / minuman di tempat kerja bagi seluruh pegawai, demikian pula pemberian natura dan kenikmatan di daerah terpencil yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, serta pemberian natura atau kenikmatan yang merupakan keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan sebagai sarana keselamatan kerja atau karena sifat pekerjaan tersebut mengharuskannya ( seperti : pakaian dan peralatan khusus untuk keselamatan kerja, pakaian seragam petugas keamanan, antar-jemput pegawai, serta akomodasi untuk awak kapal ), dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan.

Penyesuaian berdasarkan Pasal 9 ayat (1) huruf f UU PPh, pembayaran gaji, honorarium, dan imbalan lain sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan kepada pemegang saham atau pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) UU PPh, dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan sepanjang jumlahnya tidak melebihi kewajaran. Kewajaran diukur berdasarkan standar yang berlaku umum untuk pekerjaan dengan kualifikasi yang sama yang dilakukan oleh pihakpihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa. Atas selisih yang melebihi kewajarantersebut dapat dikategorikan sebagai pembagian laba.

Berdasarkan Pasal 4 ayat (3) huruf a UU PPh, bantuan atau sumbangan dan harta hibahan yang diterima oleh badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial, atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, bukan merupakan penghasilan sepanjang tidak terdapat hubungan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan. Oleh karena itu sesuai dengan prinsip taxability and deductibility, penyesuaian berdasarkan Pasal 9 ayat (1) huruf g UU PPh, bagi Wajib Pajak pemberi bantuan atau sumbangan dan harta hibahan tersebut tidak dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan.

Penyesuaian berdasarkan Pasal 9 ayat (1) huruf h UU PPh, Pajak Penghasilan badan serta kredit pajak bukan merupakan biaya perusahaan.

Berdasarkan Pasal 4 ayat (3) huruf i UU PPh, bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas sahamsaham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi bukan merupakan penghasilan. Oleh karena itu sesuai dengan prinsip taxability and deductibility, penyesuaian berdasarkan Pasal 9 ayat (1) huruf j UU PPh, bagi perseroan komanditer tersebut pembayaran gaji kepada para anggotanya tidak dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan.

Penyesuaian berdasarkan Pasal 9 ayat (1) huruf k UU PPh, sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan, serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan bukan merupakan biaya perusahaan.

Penyesuaian terhadap selisih penyusutan dan amortisasi komersial diatas penyusutan dan amortisasi fiskal.

Penyesuaian berdasarkan Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 138 Tahun 2000, dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak dapat ditetapkan saat pengakuan biaya dalam hal-hal tertentu dan bagi Wajib Pajak tertentu sesuai dengan kebijaksanaan Pemerintah.

Penyesuaian berdasarkan ketentuan umum Pasal 4 dan Pasal 6 UU PPh beserta peraturan pelaksanaannya, dalam hal :
• terdapat penghasilan yang tidak diakui secara komersial akan tetapi termasuk Objek Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan tidak bersifat final;
• terdapat biaya-biaya perusahaan lainnya atau kerugian yang diakui secara komersial akan tetapi tidak dapat diakui secara fiskal;
• terdapat kerugian usaha di luar negeri baik melalui bentuk usaha tetap ( BUT ) ataupun bukan BUT, setelah dilakukan penyesuaian fiskal positif dan negatif












 






Label:

posted by rahman.sur @ 13.23   0 comments
Pajak Belum Menjadi "Jualan" Parpol
Hari-hari penuh warna cuap-cuap poitika mulai kita rasakan mendekati hari H  pencontrengan calon anggota legislatif, orasi terbuka dengan mendatangkan banyak masa mulai menjadi pemandangan rutin, debat politik, parodi politik, penyampaian program visi dana misi menjadi sajian utama dan menjadi "jualan" parpol untuk sebanyak-banyaknya menjaring pemilih, dari yang paling serius sampai yang paling konyol dari yang fanatik sampai yang paling apatis, pesta demokrasi yang menjadi keprihatinan saya dan mungkin beberapa dari kita.

Isu apa yang menjadi "jualan" parpol dan para caleg legislatif kita? sudahkah kita secara jeli sebelum melakukan pencontrengan memperhatikan "jualan" apa yang dibawa para caleg, sudahkan kita masyarakat sadar pajak memperhatikan ada berapa banyak parpol dan para calegnya mengangkat masalah pajak dalam kampanye nya ?

Suatu hal yang sudah sangat lumrah di berbagai negara yang mandiri dalam pembiayaan keuangan negaranya, isu pajak menjadi isu sentral dan sangat sensitif dalam kampanye legislatif maupun presedensial, seseorang bisa terpilih dan menjadi wakil suatu daerah pemilihan dengan program pajak yang dibawanya, bahkan seseorang bisa jatuh dan mundur dari kedudukannya karena program dan isu perpajakan yang mereka tawarkan salah sasaran.

Sedemikian sensitif dan eratnya masalah pajak dan politik kekuasaan di berbagai negara mandiri secara finansial tersebut menunjukan betapa pentingnya pajak sebagai penyumbang dan tonggak utama kemadirian negara, betapa tingginya tingkat kepedulian dan kesadaran masyarakat seiring dengan manfaat dari pajak yang bisa dirasakan, menjadikan masyarakat lebih rasional dan lebih peduli, para pelaku politik kekuasaan akan diuji dan dimintakan program - program mereka mengenai masalah perpajakan, mereka harus siap naik bahkan jatuh dari kekuasaan karena isu pajak yang mereka bawa.

Bagaimana dengan kita, apakah pajak sudah menjadi penyumbang dan tonggak kemandirian bangsa kita? secara angka dan porsentase memang demikian, pajak menjadi sumber penerimaan terbesar APBN setelah penerimaan dari Migas yang semakin lama semakin tidak menghasilkan karena sifat alamiahnya yang tidak terbarukan.

Tetapi apakah masalah pajak sudah sedemikian penting dan sensitif sehingga parpol dan para caleg, para pelaku politik kekuasaan di negara ini menjadikannya isu sentral dan faktor penting mereka untuk naik dan mencegah kejatuhan mereka dari kursi kekuasaan.

Sepertinya tidak demikian, masalah pajak tidak banyak diangkat bahkan sangat sedikit media mewartakan masalah ini, dari angka dan porsentase pajak memang sudah menjadi penyumbang utama dan tonggak kemandirian negara secara finansial, tatapi tidak menjadikannya perhatian utama karena tidak sadar dan tidak pedulinya kita akan masalah pajak ini, manfaat dari pajak yang belum terasa atau tidak terasa secara langsung menjadi salah satu faktor penyebab kurangnya kesadaran dan kepedulian, coba kita lakukan verifikasi apakah semua parpol peserta pemilu yang menurut undang - undang perpajakan merupakan Subyek Pajak sudah mendaftarkan diri dan memperoleh NPWP ? Apakah semua calon anggota legislatif yang nama dan titelnya telah memenuhi memori kita setiap melintas jalan mereka semua memiliki NPWP ? Apakah peredaran uang yang sangat besar dalam pesta demokrasi ini telah diverifikasi asal usulnya, apakah penyumbang dan simpatisannya tersebut menyertakan NPWP dari setiap sumbangan dan partisipasi mereka. 

Kita masyarakat sadar pajak tidak banyak berharap pajak akan menjadi "jualan" utama para politisi ini, kewajiban perpajakan yang sudah diamanatkan dalam undang-undang dimana para politisi ini terlibat didalamnya, tidak seratus persen ditaati apalagi dijadikan "jualan" utama, alih- alih menjadi role model ketaatan, kepedulian dan kesadaran sebagai wajib pajak mereka seakan - akan menghindari masalah pajak dalam kampanyenya.

Label:

posted by rahman.sur @ 08.14   3 comments
Klinik Mantri Pajak (1) : Penyesuaian Fiskal
16 Mar 2009
Klinik Mantri Pajak : Penyesuaian Fiskal merupakan seri pertama dari klinik mantri pajak yang Insya Allah akan terus disambung dengan seri-seri berikutnya, dalam klinik mantri pajak kita akan mengkaji masalah perpajakan dari sisi materi, isi, dan obyektivitasnya untuk membedakan dengan postingan – postingan lainnya yang lebih mengedepankan berita, info, opini dan ragam perpajakan.

Materi dari klinik mantri pajak ini masih jauh dari kesempurnaan karena keterbatasan pengetahuan perpajakan yang saya miliki, untuk itu kritik dan saran serta koreksi sangat saya nantikan.

Isi dan konten yang ada merupakan sumbangsih untuk kemajuan dunia perpajakan bukan dimaksudkan sebagai bahan rujukan, tidak mewakili instansi manapun termasuk Direktorat Jenderal Pajak tempat saya berkarya.

Penyesuaian Fiskal merupakan tahapan yang harus dilakukan ketika akan menghitung dan memperhitungkan pajak dengan cara melakukan penyesuaian terhadap Laporan Keuangan Komersial yang telah disusun berdasarkan Pedoman Standar Akuntansi Keuangan (Akuntansi Keuangan) menjadi Laporan Keuangan Fiskal (Akuntansi Pajak) sesuai dengan ketentuan peraturan perpajakan.

Penyesuaian dilakukan karena adanya perbedaan penggunaan metode akuntansi dan atau perlakukan metode akuntansi yang berbeda antara akuntansi keuangan dan akuntansi pajak, perbedaan tersebut dapat bersifat sementara (time difference) dan tetap (permanent difference), perbedaan sementara dapat terjadi seperti penilaian Inventory dari LIFO ke FIFO, metode penyusutan komersial ke metode penyusutan fiscal, sedangkan perbedaan tetap dapat terjadi seperti pengeluaran – pengeluaran yang secara fiskal tidak dapat dibebankan sebagai biaya (non-deductible item) dan penghasilan yang bukan obyek pajak (non-taxable item).

Berikut item – item sebagai contoh penyesuaian fiskal :

Penyesuaian Fiskal Positif :


Biaya yg dibebankan / dikeluarkan untuk kepentingan pemegang saham sekutu atau anggota

Pembentukan atau pemupukan dana cadangan

Penggantian atau imbalan pekerjaan atau jasa dalam bentuk natura dan kenikmatan

Jumlah yg melebihi kewajaran yg dibayarkan kepada pemegang saham / pihak yang mempunyai hubungan istimewa sehubungan dengan pekerjaan

Harta yang dihibahkan, Bantuan atau Sumbangan

Pajak Penghasilan

Gaji yg dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma atau CV yg modalnya tidak terbagi atas saham

Sanksi Administrasi

Selisih Penyusutan Komersial diatas Penyusutan Fiskal

Selisih Amortisasi Komersial diatas Amortisasi Fiskal

Biaya yg ditangguhkan pengakuannya

Penyesuaian Fiskal Positip Lainnya



Penyesuaian Fiskal Negatif :


Selisih Penyusutan Komersial dibawah Penyusutan Fiskal

Selisih Amortisasi Komersial dibawah Amortisasi Fiskal

Penghasilan yg ditangguhkan pengakuannya

Penyesuaian Fiskal Negatip Lainnya





Label:

posted by rahman.sur @ 08.38   4 comments
Matematika Unik dalam Penghitungan Pajak
12 Mar 2009
Ada beberapa penghitungan matematika sederhana dalam peraturan perundang-undangan perpajakan yang sering terlewatkan terutama dilakukan oleh wajib pajak baru yang masih awam dan belum begitu akrab dengan seluk beluk dunia perpajakan.

Contoh sederhana saja mengenai pengenaan tarif pajak pasal 17 UU PPh yang bersifat progressif kecuali mulai tahun 2009 untuk WP Badan dikenakan tarif tunggal. Dalam menghitung tarif progressif ini jelas ada layer dan batasan tertentu dikenakan tarif tertentu juga, dan hal ini harus dengan penjelasan berkali-kali melakukannya ‘pengalaman pribadi’ .

Berikut ini beberapa hal lain terkait penghitungan matematis dalam penghitungan pajak :

1. Untuk menampilkan nilai harus tanpa nilai desimal
    Contoh :
    a. Dalam menuliskan sepuluh juta rupiah adalah: 10.000.000 (BUKAN 10.000.000,00).
    b. Dalam menuliskan seribu seratus dua puluh lima rupiah lima puluh sen adalah: 1.125 (BUKAN 1.125,50)

2. Besarnya nilai Penghasilan Kena Pajak (PKP) harus dibulatkan kebawah dalam ribuan penuh.
    Contoh :
    Penghasilan Netto                          Rp 12.568.315
    Pengurang Penghasilan Netto        (Rp 4.320.000)
    Penghasilan Kena Pajak                 Rp 8.248.000

3. Contoh dalam penghitungan PPh Pasal 21 apabila pajak yang terutang oleh pemberi kerja tidak didasarkan atas masa gaji sebulan, maka untuk penghitungan PPh Pasal 21 jumlah penghasilan tersebut terlebih dahulu dijadikan penghasilan bulanan dengan mempergunakan faktor perkalian sebagai berikut :
    a. Gaji untuk masa seminggu dikalikan dengan 4
    b. Gaji untuk masa sehari dikalikan dengan 26
    c. PPh Pasal 21 atas penghasilan seminggu dihitung berdasarkan PPh Pasal 21 sebulan dibagi 4
    d. Sedangkan PPh Pasal 21 atas penghasilan sehari dihitung berdasarkan PPh Pasal 21 sebulan dibagi 26

4. PTKP Harian untuk pegawai harian adalah PTKP yang dapat dikurangkan untuk satu hari sesuai dengan jumlah PTKP yang sebenarnya dari penerima penghasilan yang bersangkutan dibagi dengan 360.

Aturan matematis diatas tampak sederhana tetapi implikasi akibat tidak ditaatinya hal tersebut akan berdampak pada pertanggungjawaban jumlah pajak yang telah dihitung, disetor , dan dilaporkan.

Label:

posted by rahman.sur @ 09.49   3 comments
Ekstensifikasi Pajak dan Sepak Bola
11 Mar 2009
Sepak bola sebagai olah raga terpopuler di nusantara raya kita berharap akan terus maju dan berkembang, peluncuran Liga Super Indonesia tahun lalu tak pelak merupakan tonggak sejarah baru persepakbolaan Indonesia menuju era professional.

Bagaimana sepakbola professional itu ? Para pakar bola di negeriku Indonesia tercinta ini telah berulangkali mengulas membahas dan membedahnya - beuh bahasanya - dari mulai infrastruktur stadion yang harus sudah berstandar fifa badannya sepak bola dunia, masalah status badan hukum klub peserta, aturan transfer pemain, perwasitan dan hal - hal lainnya.

Semua itu dilakukan untuk mengangkat prestasi sepakbola kita dari keterpurukan bukan ? Jawabannya Ya pasti,  Sepak bola professional berarti juga sepak bola dengan penuh rasa tanggung jawab, tanggungjawab terhadap prestasi itu sendiri tanggungjawab terhadap masyarakat dan tanggungjawab terhadap negara tentunya.

Apa salah satu bentuk pertanggungjawaban itu ?  pastinya membayar pajak - ujung ujung nya masalah pajak juga - baik itu kewajiban pajak klub peserta yang sudah berbadan hukum, maupun perorangan termasuk pemain, pengurus, wasit, dan bagian pendukung lainnya yang menerima dan memperoleh penghasilan dari sepak bola.

Coba baca berita di kompas online tentang ekstensifikasi pajak berikut ini : 

Potensi Pajak dari Persib Rp 2,1 Miliar 
Rabu, 11/3/2009 | 04:39 WIB


BANDUNG, KOMPAS.com - Potensi pajak para pemain tim sepak bola Persib Bandung ditaksir mencapai Rp 2,1 miliar per tahun. Mereka diminta untuk tertib membayar pajak karena sebagian pemain Persib belum melaksanakan kewajibannya.

Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Bandung Karees Heru Widayanto, di Bandung, mengatakan, pihaknya telah melakukan sosialisasi pajak kepada para pemain Persib, Selasa (10/3) pukul 09.00-11.00. Sosialisasi itu diharapkan dapat menimbulkan kesadaran membayar pajak.

"Hasilnya belum tahu. Saya sedang menunggu. Angka potensi itu berdasarkan analisis. Itu baru Persib. Belum tim-tim lainnya di Jawa Barat," kata Heru. Pemain berbagai klub sepak bola selain Persib juga diharapkan dapat membayar pajak.

"Respons dari sosialisasi, pemain Persib malah berharap bisa mengetahui kewajibannya, surat pemberitahuan itu apa, dan lain-lain. Justru kami diundang," ujarnya. Heru mengatakan, anggaran tahunan tim-tim sepakbola lain di Jabar akan dilihat untuk diketahui potensi pajaknya.

Selain sepak bola, atlet-atlet lain yang berpotensi membayar pajak seperti tenis, bulu tangkis, dan basket juga akan diupayakan melaksanakan kewajibannya. "Gaji mereka kan besar. Mudah-mudahan perolehan dari pajak bisa meningkat," ungkap Heru.

Jadi bagi segenap insan sepak bola di negeri ini angkatlah prestasi sepak bola kita setinggi-tingginya dan jangan lupakan kewajiban kita yang lain PAJAK !





Label:

posted by rahman.sur @ 10.20   1 comments
Bagaimana Menjadi WP Non Efektif (NE)
10 Mar 2009
Ada banyak pertanyaan dari kawan-kawan yang baru saja terjaring dan memperoleh hak nya memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak "Bos ane kan cuma karyawan gak punya penghasilan apa - apa selain gaji,  pajak udah dipotong kantor, musti punya NPWP juga yak gawatttt " , " kalau gw udah pensiun gimana kewajiban pajak nya mesti lapor juga gak ?", "misalnya usaha gw bangkrut mit amit, gimana pajaknya frend ?"

Tidak dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan dari beberapa kawan diatas, dalam tulisan kali ini saya mencoba secara singkat mengulas bagaimana seseorang mendapatkan haknya memperoleh NPWP, bagaimana kewajiban perpajakannya setelah itu dan dalam kondisi seperti apa WP menjadi WP Non Efektif

Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.


Apa saja persyaratan Subyektif dan Persyaratan Obyektif itu ?

1. Persyaratan Subyektif

Subjek pajak dalam negeri :
a. orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam     suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia;

b. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang  memenuhi kriteria:

1. pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
2. pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran     Pendapatan dan Belanja Daerah;
3. penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; dan
4. pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara; dan

c. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.

Subjek pajak luar negeri :
a. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia; dan
b. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

2. Persyaratan Obyektif

Secara nyata-nyata telah menerima dan atau memperoleh penghasilan

Wajib Pajak yang telah mendapatkan haknya memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, juga harus menunaikan semua kewajiban perpajakannya ada hak maka disitu ada kewajiban, baik berupa melakukan pembayaran pajak, memasukkan SPT Masa ataupun SPT Tahunan.

Sebagaimana kita ketahui tidak semua wajib pajak terdaftar patuh memenuhi semua kewajiban perpajakannya, penyebabnya bisa bermacam-macam antara lain karena non-aktif, bubar, meninggal dunia dan sebagainya, dan dari kenyataan tersebut telah timbul berbagai istilah seperti WP aktif, WP efektif, WP non Aktif , WP non efektif dan WP karantina yang dapat membingungkan petugas pajak maupun wajib pajak dengan klasifikasi seperti ini.

Agar tidak menimbulkan salah penafsiran yang dapat menyulitkan administrasi maka diberikan penegasan bahwa administrasi pajak hanya mengenal istilah WP efektif dan WP non efektif.
1. Yang dimaksud dengan WP efektif adalah WP yang memenuhi kewajiban perpajakannya berupa memenuhi      kewajiban menyampaikan SPT masa dan SPT Tahunan sebagaimana mestinya.
2. Adapun WP non efektif adalah WP yang memenuhi kriteria sebagai berikut :
   a. WP yang selama dua tahun berturut-turut tidak pernah melakukan pemenuhan kewajiban perpajakan, baik berupa melakukan pembayaran pajak, memasukkan SPT Masa ataupun SPT Tahunan.
    b. WP meninggal dunia / bubar :
       - WP Orang Pribadi yang telah meninggal dunia tetapi belum diterima pemberitahuan tertulis secara resmi dari ahli warisnya (belum dilampirkan Surat Keterangan/Akte Kematian).
      - WP Badan yang telah bubar tetapi belum ada Akte Pembubarannya dari Instansi yang berwenang atau belum ada penyelesaian likuidasi (bagi badan yang telah mendapat pengesahan dari  Departemen Kehakiman).
  c. WP yang tidak diketahui lagi alamatnya, walaupun telah dilakukan pencarian oleh petugas verifikasi atau  petugas yang ditunjuk untuk itu.
  d. WP yang secara nyata berdasarkan hasil penelitian/pengamatan tidak menunjukan adanya kegiatan  usaha lagi.


Apabila WP telah masuk dalam kriteria WP non efektif seperti tersebut diatas, WP dapat mengajukan permohonan menjadi WP non efektif ke Kantor Pelayanan Pajak tempat WP terdaftar untuk selanjutnya ditindaklanjuti sesuai ketentuan administrasi perpajakan.

Apabila status WP telah berubah menjadi WP non efektif (NE), WP tersebut tetap terdaftar dalam master file wajib pajak tetapi secara system tidak turut diperhitungkan sehingga :

1.  Tidak dilakukan Surat Tegoran sekalipun WP tidak memasukkan SPT Masa atau SPT Tahunan ;
2. Tidak turut diawasi pembayaran masa/bulanannya dan tidak dikeluarkan STP atas Sanksi Administrasi  karena tidak memasukkan SPT ;
3. Tidak diperhitungkan dalam perhitungan tingkat kepatuhan dan efektifitas pembayaran  pajak Wajib Pajak.


WP NE kembali menjadi WP efektif apabila melakukan salah satu kewajiban perpajakan, yaitu ; 

- Memasukkan SPT Masa atau SPT Tahunan
- Memasukkan pembayaran pajak
- Diketahui adanya kegiatan usaha dari Wajib Pajak
- Diketahui Alamat WP khusus WP NE karena tidak diketahui alamatnya.





Sumber :
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-14/PJ.9/1990 tanggal 15 Juni 1990
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-28/PJ.23/1998 tanggal 24 Agustus 1988
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-26/PJ.2/1998 tanggal 27 Juli 1988

Label:

posted by rahman.sur @ 13.54   5 comments
Bikinnya Gampang Tapi Menghapusnya Susah , Benarkah NPWP Seperti Itu ?
4 Mar 2009
Jumlah Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) terdaftar pada tanggal 31 Desember 2007 hanya berjumlah 5,5 juta menjadi 12,7 juta NPWP terdaftar pada tanggal 29 Pebruari 2009, peningkatan yang sangat signifikan hanya dalam waktu satu tahun dua bulan terakhir, keberhasilan ini tentu juga keberhasilan dari Sunset Policy atau secara sederhana kita mengatakan penghapusan sanksi administrasi berupa bunga dan denda atas pajak kurang bayar.




Masyarakat memanfaatkan kesempatan ini dengan melakukan pendaftaran NPWP bagi mereka yang belum terdaftar, maupun melakukan pembetulan SPT bagi mereka yang sudah memiliki NPWP sebelumnya.

Tata cara pendaftaran NPWP selama masa sunset policy maupun setelah sunset policy berakhir prosedurnya sama sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-44/PJ/2008 .

BAB II
TATA CARA PENDAFTARAN NOMOR POKOK WAJIB PAJAK DAN/ATAU PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK
Pasal 2
(1) Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan NPWP.
(2) Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau melakukan pekerjaan bebas termasuk Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu dan Wajib Pajak badan, wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP paling lama 1 (satu) bulan setelah saat usaha mulai dijalankan.
(3) Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau tidak melakukan pekerjaan bebas, apabila jumlah penghasilannya sampai dengan suatu bulan yang disetahunkan telah melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak, wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP paling lama pada akhir bulan berikutnya.
(4) Wajib Pajak orang pribadi selain Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), dapat mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP.
(5) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan memenuhi ketentuan sebagai PKP, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP sebelum melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak.
(6) Pengusaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000, yang:
a. memilih sebagai PKP; atau
b. Tidak memilih sebagai PKP tetapi sampai dengan suatu bulan dalam suatu tahun buku jumlah nilai peredaran bruto atas penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak telah melampaui batasan yang ditentukan sebagai Pengusaha Kecil, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP paling lama akhir bulan berikutnya.
(7) Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (5), dan ayat (6) diterbitkan NPWP dan/atau dikukuhkan sebagai PKP secara jabatan.
Pasal 3

(1) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP ke KPP/KP4/KP2KP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
(2) Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) selain mendaftarkan diri ke KPP/KP4/KP2KP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga mendaftarkan diri ke KPP/KP4/KP2KP yang wilayah kerjanya meliputi tempat-tempat kegiatan usaha Wajib Pajak.
(3) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) dan ayat (6) melaporkan usahanya ke KPP/KP4/KP2KP yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan Peraturan perundang-undangan perpajakan.
(4) Dalam hal tempat tinggal atau tempat kedudukan, dan/atau tempat kegiatan usaha Wajib Pajak berada dalam 2 (dua) atau lebih wilayah kerja KPP, Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan KPP tempat Wajib Pajak terdaftar.
Pasal 4
(1) Wajib Pajak atau orang yang diberi kuasa khusus yang mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP dan/atau Pengusaha yang melaporkan kegiatan usaha untuk dikukuhkan sebagai PKP wajib mengisi, menandatangani, dan menyampaikan permohonan pendaftaran NPWP dan/atau permohonan pengukuhan PKP ke KPP/KP4/KP2KP.
(2) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
a) KPP menerbitkan Kartu NPWP dan SKT dan/atau SPPKP; atau
b) KP4/KP2KP memberikan Bukti Pendaftaran Wajib Pajak dan/atau Bukti Pelaporan PKP,
paling lama 1 (satu) hari kerja terhitung sejak permohonan diterima secara lengkap.


Jangka waktu penyelesaian permohonan pendaftaran NPWP setelah semua persyaratan lengkap diatur dalam ketentuan sebagai berikut :

a. Berdasarkan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-37/PJ/2007 tanggal 14 Agustus 2007 tentang Percepatan Jangka Waktu Penyelesaian Layanan Unggulan Direktorat Jenderal Pajak, standar waktu penyelesaian permohonan pendaftaran NPWP paling lama adalah 1 (satu) hari kerja.

b. Berdasarkan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-33/PJ/2008 tanggal 27 Juni 2008 tentang Tata cara Pemberian NPWP, Penerimaan dan Pengolahan SPT Tahunan PPh, Penghapusan Sanksi Administrasi, Penghentian Pemeriksaan dan Pengadministrasian Laporan Terkait Dengan Pelaksanaan Pasal 37a Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan diatur bahwa dalam rangka Sunset Policy, standar waktu penyelesaian permohonan pendaftaran NPWP paling lama adalah 1 (satu) jam.

c. Berdasarkan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-65/PJ/2008 tanggal 18 Nopember 2008 tentang Penyampaian Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 44/PJ/2008 tentang Tata Cara Pendaftaran Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, Perubahan Data dan Pemindahan Wajib Pajak dan/atau Pengusaha Kena Pajak standar waktu penyelesaian permohonan pendaftaran NPWP diupayakan selesai dalam 1 (satu) jam.

Secara umum untuk mendapatkan NPWP itu sangat gampang dan prosesnya cepat, bahkan ketika kita berada di pusat – pusat perbelanjaan dimana terdapat pojok pajak disitu pula kita bisa langsung daftar dan mendapatkan NPWP khusus untuk wajib pajak perseorangan hanya dengan memperlihatkan Kartu Tanda Penduduk.

Bagaimana hal nya ketika kita akan menghapus NPWP ?

Penghapusan NPWP secara formal administrasi harus melalui proses pemeriksaan terlebih dahulu berdasarkan permohonan wajib pajak atau kuasanya maupun atas hasil analisis data dan penelitian terhadap administrasi perpajakan oleh Petugas Pajak.
Berikut Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-09/PJ.04/2007 tentang Penegasan Atas Pelaksanaan Pemeriksaan Dalam Rangka Penghapusan NPWP/Pencabutan PKP.


SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR SE - 09/PJ.04/2007
TENTANG
PENEGASAN ATAS PELAKSANAAN PEMERIKSAAN DALAM RANGKA
PENGHAPUSAN NPWP/PENCABUTAN PKP

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
Dalam rangka penyeragaman pelaksanaan pemeriksaan atas Penghapusan NPWP/Pencabutan PKPsebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-161/PJ./2001 tentang Jangka Waktu Pendaftaran Dan Pelaporan Kegiatan Usaha, Tata Cara Pendaftaran Dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak, Serta Pengukuhan Dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-03/PJ.7/2005 tentang Kebijakan Pemeriksaan Rutin dan Surat Edaran Direktur JenderalPajak Nomor SE-07/PJ.7/2005 tentang Kebijakan Pemeriksaan Tujuan Lain dan untuk memberikan kepastian hukum kepada Wajib Pajak, dengan ini ditegaskan hal-hal sebagai berikut:

1. Pemeriksaan dalam rangka penghapusan NPWP/Pencabutan PKP dapat dilakukan berdasarkan:
a. Permohonan Wajib Pajak atau Kuasanya; atau
b. Hasil analisis data dan penelitian terhadap administrasi perpajakan oleh Petugas Pajak.
2. Pemeriksaan dalam rangka penghapusan NPWP/Pencabutan PKP dapat dilakukan melalui:
a. Pemeriksaan rutin; atau
b. Pemeriksaan Untuk Tujuan lain.
3. Penghapusan NPWP/Pencabutan PKP didahului dengan pemeriksaan rutin dalam hal:
a. Wajib Pajak Badan atau BUT yang melakukan penggabungan atau peleburan usaha;
b. Wajib Pajak Badan atau BUT dilikuidasi, termasuk Kerjasama Operasi atau Joint Operations yang telah berakhir masa kerjasama operasinya;
c. Wajib Orang Pribadi akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.
4. Dalam hal penghapusan NPWP/Pencabutan PKP dilakukan melalui pemeriksaan Rutin pemeriksaan tersebut dilakukan untuk tahun pajak saat dilakukan penggabungan, likuidasi, atau saat akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya, namun dapat diperluas ke tahun-tahun sebelumnya sepanjang terdapat potensi penerimaan dan belum pernah dilakukan pemeriksaan. Perluasan pemeriksaan ke tahun-tahun sebelumnya dilakukan dengan prosedur pemeriksaan khusus.
5. Tim Pemeriksa harus mencantumkan pajak yang masih harus dibayar dan membuat usulan tentang penghapusan NPWP/Pencabutan PKP dalam Laporan Pemeriksaan Pajak hasil Pemeriksaan Rutin (Bab Kesimpulan dan Usulan Pemeriksa).

6. Pemeriksaan Untuk Tujuan Lain dalam rangka Penghapusan NPWP/Pencabutan PKP dilakukan antara lain dalam hal:
6.1. Wajib Pajak Orang Pribadi:
a. Meninggal dunia dan tidak meninggalkan warisan yang belum dibagi;
b. Wanita kawin tidak dengan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan;
c. Pegawai Negeri Sipil/TNI/POLRI pensiun dan tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Wajib Pajak;
d. Karyawan yang tidak memiliki usaha atau pekerjaan bebas dan tidak lagi memenuhi syarat sebagai Wajib Pajak yaitu yang penghasilannya di bawah PTKP;
e. Bendahara Pemerintah/Bendahara Proyek yang tidak lagi memenuhi syarat sebagai Wajib Pajak karena yang bersangkutan sudah tidak lagi ditunjuk menjadi bendahara;
f. Telah meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.
6.2. Warisan yang belum terbagi dalam kedudukan sebagai Subjek Pajak sudah selesai dibagi;
6.3. Wajib Pajak yang memiliki lebih dari 1 (satu) NPWP untuk menentukan NPWP yang dapat digunakan sebagai sarana administratif pemenuhan pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan.
7. Pemeriksaan Untuk Tujuan Lain dalam rangka Penghapusan NPWP/Pencabutan PKP atas Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada angka 6 dapat dilakukan dengan Pemeriksaan Sederhana Kantor.
8. Mengingat Pemeriksaan Tujuan Lain pada prinsipnya dimaksudkan untuk memberikan pelayanan kepada Wajib Pajak, bagi KPP yang telah menerapkan sistem administrasi perpajakan modern, maka pemeriksaan dalam rangka penghapusan NPWP/Pencabutan PKP atas Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada angka 6 dapat dilakukan oleh Pejabat Fungsional Pemeriksa Pajak atau pegawai selain Pejabat Fungsional Pemeriksa Pajak yang memiliki keahlian dibidang pemeriksaan yang ditunjuk oleh Kepala Kantor.
9. Tatacara Pemeriksaan Untuk Tujuan Lain dalam rangka Penghapusan NPWP/Pencabutan PKP tetap dilakukan dengan berpedoman pada Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-07/PJ.7/2005 tentang Kebijakan Pemeriksaan Tujuan Lain.
10. Berdasarkan Laporan Pemeriksaan Pajak, Tim Pemeriksa harus mengirimkan usulan Penghapusan NPWP/Pencabutan PKP kepada Kepala KPP c.q. Kepala Seksi TUP atau Kepala Seksi Pelayanan dengan menggunakan format sebagaimana terdapat Lampiran 1.

Demikian Surat Edaran ini disampaikan untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 7 Mei 2007
Direktur Jenderal,
ttd.

Darmin Nasution
NIP 130605098


Ketika mendengar kata Pemeriksaan Pajak sudah terbayang bagaimana susahnya harus mempersiapkan data dan dokumen kelengkapan yang akan diminta pemeriksa , tidak semua dari kita ini kan memiliki kepedulian terhadap data maupun dokumen penting menyangkut aspek perpajakan.

Belum lagi tekanan mental ketika proses pemeriksaan apakah selama ini kita telah melakukan kewajiban perpajakan secara benar ?

Mungkin ada benarnya juga ungkapan seorang kawan kalau NPWP itu mendapatkannya gampang tapi susah ketika menghapusnya, seperti itulah prosedurnya yang berlaku saat ini, apakah nanti akan terjadi perubahan, saya secara pribadi yakin ke arah sana , sehingga kita bisa mengatakan mendapatkan NPWP maupun menghapusnya sama- sama mudah dan sangat cepat.

Label:

posted by rahman.sur @ 11.30   1 comments
Bunuh Diri karena Dikejar-Kejar Orang Pajak
2 Mar 2009
Ada berita tentang pajak yang sedikit berbeda dengan berita-berita seputar perpajakan kita seperti biasanya, kali ini beritanya bukan lagi masalah tarif pajak, sunset policy, atau npwp sebagaimana selalu kita dengar akhir – akhir ini di media massa.


Beberapa media cetak sebut saja kompas dan warta kota ikut memuat berita ini, bahkan warta kota edisi sabtu 28 Pebruari 2009 memuatnya di halaman depan dengan judul yang sangat provokatif Bunuh Diri karena Dikejar-Kejar Orang Pajak .


Judul berita tersebut menurut saya terlalu tendensius menyangkut petugas pajak mungkin tujuannya supaya menarik perhatian orang untuk membacanya.


Di berita tersebut disebutkan korban adalah konsultan yang meninggal bunuh diri karena dikejar-kejar orang pajak dan bos sebuah perusahaan menyangkut jasanya dalam membuat laporan pajak.


Menurut saya keterlibatan petugas pajak tidak secara langsung terhadap peristiwa tersebut, pihak pajak mungkin dalam hal ini sudah masuk ke tahap penagihan pajak atau mungkin baru saja di tahap penetapan besarnya pajak atau mungkin baru tahap pemeriksaan bahkan penelitian, itupun berhubungan dengan perusahaan dimana korban memberikan jasanya. Yang ''mengejar-ngejar" konsultan tersebut justru pihak perusahaan yang merasa dirugikan bukan petugas pajak.


Saya tidak mengerti bagaimana seorang konsultan bisa dituntut sebuah perusahaan untuk mengganti kekurangan pajak tersebut, dalam melakukan pekerjaan seorang konsultan hanya bertanggung jawab terhadap laporan pajak berdasarkan data dan dokumen yang diberikan oleh klien diluar itu kalau ternyata ada data dan dokumen lain dikemudian hari yang ditemukan, seorang konsultan tidak ikut bertanggungjawab, apabila dia salah dalam membuat laporan pajak ini menunjukan konsultan tersebut seorang yang tidak professional.



Atau ada indikasi konsultan tersebut "mentender"/‘membeli’ (praktek illegal) jasa pelaporan pajak perusahaan tersebut sebesar Rp.XX atau U$. XX all in termasuk pajak terhutang perusahaan plus fee jasa konsultan, dan perusahaan tidak tahu menahu yang penting terima beres dengan urusan pajak sesuai kesepakatan tersebut. Ketika jumlah pajak yang terhutang menjadi lebih besar menurut petugas pajak, Perusahaan tidak mau bertanggungjawab dan konsultan lah yang harus menanggung semua itu.

Aya aya wae !


http://megapolitan.kompas.com/read/xml/ 2009/02/28/ 08185591/ bunuh.diri. karena.dikejar- kejar.orang. pajak.

Bunuh Diri karena Dikejar-Kejar Orang Pajak
Sabtu, 28 Februari 2009 08:18 WIB

TANJUNGDUREN, SABTU
— Polsektro Tanjungduren menarik kesimpulan, tragedi berdarah di rumah pasangan muda Andre-Lusiana di Jalan Salak Barat II, Tanjungduren, Jakarta Barat, dipicu kepanikan Andre karena dikejar-kejar orang dari bagian pajak perusahaan.Andre yang berprofesi sebagai konsultan pajak, salah menyusun laporan pajak hingga dituntut menanggung selisih pajak sebesar ratusan juta rupiah. Akibat tertekan, Andre sempat mengajak istrinya, Lusiana (23), mati bersama. ”Dari bukti dan keterangan saksi-saksi, kami berkesimpulan Andre bunuh diri. Awalnya, ia mengajak istrinya mati bersama, tapi istrinya menolak dan melawan,” kata Kapolsektro Tanjungduren Kompol Joni Iskandar, Jumat (27/2) siang.Menurut Joni, mengutip keterangan saksi, Kamis (26/2) sore, Andre curhat kepada Lusiana tentang pekerjaannya. Pria berusia 26 tahun itu mengatakan, dirinya dikejar-kejar petugas pajak dan bos sebuah perusahaan swasta yang memakai jasanya dalam membuat laporan pajak. ”Dia melakukan kesalahan dalam menyusun laporan sehingga perusahaan itu harus membayar pajak lebih besar. Perusahaan itu tidak mau tahu dan meminta Andre bertanggung jawab,” ujar Joni.Awalnya, Andre merahasiakan masalah pekerjaan itu kepada sang istri. Pada Kamis sore, Andre mengeluh kepada Lusiana dan mengajak pasangan hidupnya tersebut mati bersama. ”Agar istrinya tidak ditagih kekurangan uang pajak itu, Andre mengajaknya mati bersama,” kata Joni.Menurut Joni, Andre kemudian mengikat tangan dan kaki istrinya. Lalu, Andre menganiaya Lusiana dengan golok sehingga wanita itu mengalami luka sayat. Bahkan, dua telinga Lusiana nyaris putus. Selain menganiaya sang istri, Andre juga melukai dan membakar dirinya sendiri.Lusiana meronta-ronta hingga ikatan di tangan dan kakinya mengendur. Dia lalu lari ke rumah ketua RT setempat dan melaporkan bahwa suaminya tewas. Di awal keributan, adik Lusiana, Timneng, berusaha melerai. Namun, gadis itu akhirnya menyingkir dan mengurung diri di kamar.Seperti diberitakan, Andre tewas mengenaskan di rumahnya di Jalan Salak Barat II, RT 10 RW 05 Tanjungduren. Rumah berlantai dua ini dikontrak Andre sejak setahun lalu. Andre dan Lusiana baru dua tahunan menikah dan belum dikaruniai anak.Saat menolong pasangan muda ini, warga sempat bingung karena Andre tewas dengan luka mengenaskan dan Lusiana pun terluka parah. Warga ada yang menduga, Andre dan Lusiana cekcok lalu berkelahi. Sementara itu, Timneng—saat itu—belum bisa dimintai keterangan karena syok. (tos)

Label:

posted by rahman.sur @ 09.18   1 comments
Tulisan Terakhir

Subscribe to RSS headline updates from:
Powered by FeedBurner

Tulisan Sebelumnya
Arsip
Tautan
Pendukung Blog


Masukkan Code ini K1-7543F3-9
untuk berbelanja di KutuKutuBuku.com

BLOGGER

© Mantri Pajak Blogger Templates by Isnaini Dot Com and Car Pictures