(1) Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui
atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya
untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang
ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
(2a) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah :
a. Pejabat dan tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau saksi ahli dalam sidang pengadilan;atau
b. pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan Menteri Keuangan untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan negara.
(3) Untuk kepentingan negara, Menteri Keuangan berwenang memberi izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) supaya memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.
(4) Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan Hakim sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata, Menteri Keuangan dapat memberi izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
(5) Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.
Akses BPK untuk melakukan audit terhadap penerimaan pajak sebenarnya telah diakomodir oleh Undang - Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 34 Ayat 2a huruf b diatas, bahwa untuk kepentingan negara kerahasiaan jabatan petugas pajak berdasarkan undang - undang perpajakan menjadi gugur apabila ada interest perpajakan (pemeriksaan pajak, data, informasi,bukti dll) dari lembaga negara atau instansi pemerintah
yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan negara ( BPK ).
Akses ini tentunya dengan "sopan santun" dan "ketok pintu" terlebih dahulu terhadap tuan rumah, artinya diperlukan izin secara tertulis dari Menteri Keuangan, hal inilah yang sampai sekarang ini belum bisa diterima oleh BPK, keharusan adanya izin tertulis dari Menteri Keuangan inilah yang dianggap membatasi ruang gerak dan akses BPK dalam melakukan audit penerimaan pajak, BPK merasa kewenangan konstitusionalnya dilanggar dan dibatasi dan BPK selaku lembaga tinggi negara enggan dan merasa tidak perlu meminta izin terlebih dahulu kepada tuan rumah yang akan dilakukan test case maupun audit terkait masalah penerimaan pajak.
BPK menginginkan akses tanpa batas bahkan sampai data - data dan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak "Wajib Pajak menjadi tidak memiliki kepastian dalam menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya, ketika WP telah dilakukan pemeriksaan oleh DJP tidak menutup kemungkinan WP juga masih akan menghadapi BPK yang sewaktu - waktu akan melakukan pemeriksaan terhadap hak dan kewajiban perpajakannya" seolah - olah dengan hal ini menjadikan Wajib Pajak seperti ladang perebutan pemeriksaan antara DJP dan BPK, pada akhirnya WP sendiri yang akan dirugikan.
Setelah uji materi UU KUP yang ditolak oleh Mahkamah Konstitusi tahun lalu, dan setelah adanya MoU antara DJP dan BPK mengenai pemeriksaan penerimaan pajak sebagai solusi yang saling menguntungkan, karena Ditjen Pajak dapat menjalankan fungsinya dalam rangka meningkatkan penerimaan negara, sedangkan BPK dapat melakukan fungsinya sebagai auditor eksternal pemerintah. Apakah BPK masih dan akan selalu bersengketa dan mempermasalahkan hal tersebut ?
Menurut hemat saya MoU yang telah disepakati antara BPK dan DJP harus tetap menjadi pegangan kedua belah pihak dengan dasar saling menghormati dan menghargai, DJP memiliki hak konstitusi begitupun dengan BPK, apabila hal tersebut terus menerus disengketakan akan menjadi hal yang kontraproduktif bagi kedua institusi negara ini. DJP harus bisa menjalankan fungsinya dengan baik dan harus "bersih" dalam melakukan tugasnya menghimpun penerimaan negara dari pajak, begitupun dengan BPK dapat menjalankan hak dan kewengannya sebagai auditor eksternal pemerintah, melakukan audit terhadap penerimaan negara dari pajak dengan cara terjun langsung dan akses terhadap wajib pajak bukan satu-satunya cara dan tidak menjamin BPK bisa melakukan audit pajak secara optimal, DJP saja yang sudah bertahun - tahun berpengalaman dalam audit pajak dengan berbagai cara dan inovasi serta modernisasi dan penerapan kode etik didalamnya masih belum bisa optimal melakukannya.
Selamat berkarya bagi segenap kalangan di BPK dan DJP, jadilah lembaga negara yang bersih !
BPK waktu membuat UU tentang BPK salah satu usulannya adalah dia otonomi di bidang keuangan sehingga dalam masalah penggajian sama dengan BI, tapi gagal
Kenapa sih semangat mriksa pajak?