Mantri Pajak

KANAL INFO PRAKTIS PERPAJAKAN

 
Selamat Datang

Rahman.Sur's Profile
Absensi

By: TwitterButtons.com
By TwitterButtons.com


Facebook Badges


ShoutMix chat widget

Statistik

web site traffic stats

Langganan Artikel

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
27 Apr 2009
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda antara Indonesia dengan negara mitra P3B yang efektif akan memberikan manfaat untuk menghilangkan dan mengeliminir pengenaan pajak berganda internasional salah satunya dengan membatasi pengenaan pajak di negara tempat penghasilan bersumber. 

Dalam penerapan persetujuan penghindaran pajak berganda masih sering terjadi perbedaan pendapat baik antara wajib pajak dengan fiscus, antara wajib pajak satu dengan lainnya maupun antara fiscus sendiri, hal seperti ini harus segera direduksi untuk memberikan kepastian sebagai dasar pemungutan pajak dan penerapan P3B. 

Dari penelusuran terhadap berbagai peraturan berkaitan dengan penerapan persetujuan penghindaran pajak berganda, berikut poin - poin penting yang harus diperhatikan : 

1. Dalam P3B diatur ketentuan-ketentuan tentang pemotongan PPh Pasal 26 dengan tarif yang lebih rendah atau pembebasan pemotongan PPh Pasal 26 terhadap beberapa jenis penghasilan yang dibayar atau terutang oleh pihak yang membayar penghasilan yang berkedudukan di Indonesia kepada Wajib Pajak luar negeri yang berkedudukan di negara-negara treaty partner.

2. Sehubungan dengan hal tersebut, untuk memberikan kemudahan bagi semua pihak, penerapan PPh Pasal 26 sesuai dengan P3B dilaksanakan sebagai berikut :

a. Wajib Pajak luar negeri wajib menyerahkan asli Surat Keterangan Domisili kepada pihak yang berkedudukan di Indonesia yang membayar penghasilan dan menyampaikan fotokopi Surat Keterangan Domisili tersebut kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat pihak yang membayar penghasilan terdaftar.

b. Asli Surat Keterangan Domisili tersebut menjadi dasar bagi pihak yang membayar penghasilan untuk menerapkan PPh Pasal 26 sesuai dengan yang ditegaskan dalam P3B yang berlaku antara Indonesia dengan negara tempat kedudukan (residence) dari Wajib Pajak luar negeri tersebut.

Dalam hal Surat Keterangan Domisili akan digunakan untuk lebih dari satu pembayar penghasilan, maka Wajib Pajak luar negeri dapat menyampaikan fotokopi yang telah dilegalisasi Kepala KPP tempat salah satu pihak pembayar penghasilan terdaftar kepada pihak yang membayar penghasilan. Kepala KPP yang melegalisasi fotokopi tersebut wajib memegang aslinya.

c. Surat Keterangan Domisili tidak diperlukan bagi bank-bank atau lembaga-lembaga keuangan yang secara tegas disebut dalam P3B yang bersangkutan. Bagi bank-bank atau lembaga-lembaga keuangan tersebut langsung diterapkan ketentuan-ketentuan sesuai dengan P3B yang bersangkutan.

Dalam hal terdapat bank atau lembaga keuangan yang tidak disebutkan secara tegas dalam P3B, tetapi berdasarkan persetujuan Competent Authority Indonesia dan negara treaty partner yang bersangkutan disetujui sebagai badan yang penghasilannya dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 26, maka bank atau lembaga keuangan tersebut diperlakukan sama dengan bank atau lembaga keuangan yang secara tegas disebutkan dalam P3B, yaitu tidak diperlukan Surat Keterangan Domisili.

3. Surat Keterangan Domisili

a. Surat Keterangan Domisili diterbitkan oleh Competent Authority atau wakilnya yang sah di negara treaty partner. Namun demikian, Surat Keterangan Domisili yang dibuat oleh pejabat pada Kantor Pajak tempat Wajib Pajak luar negeri yang bersangkutan terdaftar dapat diterima dan dipersamakan dengan Surat Keterangan Domisili yang dibuat Competent Authority.

b. Bentuk Surat Keterangan Domisili adalah sesuai dengan kelaziman di negara tempat Wajib Pajak luar negeri berkedudukan, namun sekurang-kurangnya harus menyatakan bahwa Wajib Pajak luar negeri yang bersangkutan benar berkedudukan di negara tersebut sesuai dengan ketentuan P3B yang berlaku, disertai dengan tanggal dan tanda-tangan pejabat yang menerbitkan Surat Keterangan Domisili tersebut.

c. Surat Keterangan Domisili berlaku selama 1 (satu) tahun sejak tanggal diterbitkan, kecuali untuk Wajib Pajak bank. Bagi Wajib Pajak bank, Surat Keterangan Domisili tersebut berlaku selama bank tersebut tetap mempunyai alamat yang sama dengan alamat yang tercantum dalam Surat Keterangan Domisili.

4. Dalam penerapan P3B yang telah berlaku, perlu diperhatikan pula ketentuan-ketentuan yang
menyangkut beberapa hal sebagai berikut:


a. Jasa yang dilakukan di luar Indonesia oleh penduduk negara treaty partner.

1). Berdasarkan P3B yang telah berlaku, pada umumnya imbalan atas jasa yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri merupakan laba usaha sehingga pengenaan pajaknya hanya dapat dilakukan di Indonesia apabila Wajib Pajak luar negeri tersebut melakukan jasa di Indonesia melalui suatu BUT di Indonesia. Namun demikian, perlu diperhatikan bahwa dalam P3B dengan Jerman,Luxembourg, Swiss dan Pakistan, khususnya yang berhubungan dengan pemberian jasa teknik, manajemen dan konsultasi yang dilakukan di Indonesia,dikenakan pemotongan PPh Pasal 26 meskipun pemberi jasa tidak mempunyai BUT di Indonesia. Besarnya PPh Pasal 26 tersebut adalah dengan Jerman sebesar 7,5%, dengan Luxembourg sebesar 10%, dengan Swiss sebesar 5%,dan dengan Pakistan sebesar 15%.

2). Penentuan adanya BUT di Indonesia ditentukan berdasarkan jangka waktu (time test) yang berlaku di masing-masing P3B.
- Dalam hal persyaratan jangka waktu untuk adanya BUT di Indonesia dipenuhi maka atas imbalan jasa tersebut dikenakan pajak di Indonesia dan dipotong PPh Pasal 23 sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
- Dalam hal jangka waktu mengenai adanya BUT tidak dipenuhi maka atas imbalan jasa tersebut tidak dapat dikenakan Pajak di Indonesia,kecuali yang dibayar atau terutang kepada penduduk Jerman,Luxembourg, Swiss dan Pakistan. Hak pemajakannya dilakukan oleh negara treaty partner tempat kedudukan (residence) dari Wajib Pajak luar negeri tersebut.


3). Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas maka perlu ditegaskan bahwa sesuai dengan ketentuan dalam P3B, atas jasa yang dilakukan di luar negeri oleh penduduk negara treaty partner, Indonesia tidak dapat mengenakan PPh atas imbalan jasa tersebut.

b. Pembayaran premi asuransi ke luar negeri.

Atas pembayaran premi asuransi kepada perusahaan asuransi yang berkedudukan di Selandia Baru, Australia, Malaysia dan Arab Saudi, serta di negara-negara yang belum mempunyai P3B dengan Indonesia, dipotong PPh Pasal 26 sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 624/KMK.04/1994 tanggal 17 Desember 1994. Atas pembayaran premi asuransi kepada perusahaan asuransi yang berkedudukan di negara treaty partner lainnya tidak dipotong PPh Pasal 26.

c. Dividen yang dibayar atau terutang ke luar negeri melalui Custodian.

1). Berdasarkan asli Surat Keterangan Domisili sebagaimana dimaksud dalam butir 3 yang ditunjukkan Custodian dan fotokopi diserahkan kepada emiten, atas dividen yang dibayar atau terutang oleh emiten dipotong PPh Pasal 26 sesuai dengan tarif menurut P3B yang berlaku.
2). Atas dividen yang dibayar atau terutang kepada Wajib Pajak luar negeri penduduk negara yang tidak mempunyai P3B dengan Indonesia, dipotong PPh Pasal 26 dengan tarif 20% dari jumlah bruto.

d. Beneficial Owner

Khusus untuk penghasilan dividen, bunga, dan/atau royalti, P3B mengatur bahwa negara tempat sumber penghasilan dapat mengenakan pajak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di negara tersebut. Namun dalam hal penerima penghasilan adalah beneficial owner, maka pengenaan pajak di negara tempat penghasilan bersumber tidak boleh melebihi persentase tertentu (P3B).

Yang dimaksud dengan beneficial owner adalah pemilik yang sebenarnya dari penghasilan berupa dividen, bunga, dan/atau royalti, yang berhak sepenuhnya untuk menikmati secara langsung manfaat penghasilan-penghasilan tersebut. Dengan demikian, apabila penerimaan penghasilan dividen, bunga dan/atau royalti bukan beneficial owner, maka sesuai dengan ketentuan P3B, negara tempat penghasilan bersumber dapat mengenakan pajak sesuai ketentuan perundang-undangan di negara tersebut.

Untuk mendeteksi kebenaran Beneficial Owner hal-hal berikut perlu untuk diperhatikan :

a. Yang dimaksud dengan "beneficial owner" adalah pemilik yang sebenarnya dari penghasilan berupa Dividen, Bunga dan atau Royalti baik Wajib Pajak Perorangan maupun Wajib pajak Badan, yang berhak sepenuhnya untuk menikmati secara langsung manfaat penghasilan-penghasilan tersebut.

b. Dengan demikian, maka "special purpose vehicles" dalam bentuk "conduit company", "paper box company","pass-through company" serta yang sejenis lainnya, tidak termasuk dalam pengertian "beneficial owner" tersebut di atas.

c. Apabila terdapat pihak-pihak lain yang bukan merupakan "beneficial owner" sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b tersebut, yang menerima pembayaran Dividen, Bunga dan atau Royalti yang bersumber dari Indonesia, maka pihak yang membayarkan Dividen, Bunga dan atau Royalti tersebut diwajibkan melakukan pemotongan PPh Pasal 26 sesuai Undang-Undang Pajak Penghasilan Indonesia dengan tarif 20% (dua puluh perseratus) dari jumlah bruto yang dibayarkan.

sumber :

Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-03/PJ.101/1996

Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor Nomor SE - 03/PJ.03/2008

SE-04/PJ.34/2005










Label:

posted by rahman.sur @ 13.45   0 comments
Mengapresiasi Aparat Pajak
2 Apr 2009
Apresiasi dan penilaian positif mengenai pajak dalam hal ini lebih khusus Direktorat Jenderal Pajak oleh media massa sesuatu yang sangat jarang terjadi kalau boleh kita mengatakannya sebagai berita yang sangat langka, selama ini media selalu mewartakan pajak baik institusi maupun aparatnya hanya dari satu sisi yaitu sisi negatif.

Berbeda dengan hari ini ketika saya membaca Media Indonesia berita positif bertajuk Mengapresiasi Aparat Pajak menjadikan editorial ini edisi yang sangat spesial, sudah lama kerja keras para pimpinan Ditjen Pajak dan aparat dibawahnya untuk merubah wajah pajak yang katanya berwajah buruk menjadi wajah yang lebih cerah penuh semangat dan optimisme tinggi seiring angin perubahan di Direktorat Jenderal Pajak yang sampai sekarang terus menerus digulirkan.

Apresiasi seperti ini sangat diperlukan untuk menumbuhkan keyakinan dan kepercayaan diri serta merupakan daya pendorong yang sangat kuat bagi jajaran Ditjen Pajak bahwa perubahan yang selama ini dilakukan sudah berada dalam jalur yang benar.

Sekali lagi apresiasi ini sangat besar artinya bukan hanya untuk aparat pajak semata tetapi untuk masyarakat wajib pajak dan masyarakat secara keseluruhan sebagai sebuah modal sosial seperti yang diwartakan Media Indonesia.


Mengapresiasi Aparat Pajak
Media Indonesia, 2 April 2009

Ada dua hal yang patut dicatat dari proses penyerahan surat pemberitahuan tahunan (SPT) pajak penghasilan orang pribadi yang berakhir Selasa (31 / 3). Pertama, antusiasme para wajib pajak untuk menyerahkan SPT sangat tinggi. Kedua, pelayanan yang diberikan aparat Direktorat JenderaJ (Ditjen) Pajak juga sangat baik. Kita patut gembira dengan kenyataan tersebut. Gembira karena belum pernah ada dalam sejarah Republik ini para wajib pajak berbondong-bondong mendatangi kantor pajak hingga mencapai ribuan orang.

Kita juga bersuka ria karena pelayanan yang diberikan Ditjen Pajak sepadan dengan kegairahan para wajib pajak. Mereka melayani, membimbing, dan merespons segala kebutuhan wajib pajak melalui berbagai cara.

Peristiwa tersebut bisa menjadi modal sosial bagi bangsa ini menuju perekonomian yang lebih matang dan beradab. Yakni perekonomian yang ditandai oleh makin meningkatnya kesadaran warga akan kewajiban mereka. Pula, ditandai sikap tanggap dan melayani dari birokrasi.

Itulah yang terjadi di negara-negara maju. Kesadaran masyarakat membayar pajak tinggi karena mereka paham betul bahwa pajak menjadi tiang penyangga perekonomian negara. Birokrasi juga melayani publik dengan saksama sebagai bagian dari kontraprestasi atas uang yang dibayarkan rakyat.

Maka, modal sosial seperti itu harus terus dikembangkan di negeri ini. Itu sudah terbukti sejak program sunset polio/ digulirkan. Program penghapusan sanksi pajak tersebut terbukti menambah jumlah wajib pajak sangat signifikan.

Pada akhir 2007, jumlah wajib pajak terdaftar baru 5,3 juta orang. Namun, hanya dalam tempo 14 bulan, yakni pada pertengahan Februari 2009, jumlah wajib pajak terdaftar melonjak lebih dari dua kali lipat menjadi 12,1 juta orang.

Selain mendongkrak jumlah daftar wajib pajak, sunset polio/ melambungkan pendapatan negara. Pada 2007, penerimaan negara dari sektor pajak baru mencapai Rp49l triliun. Setahun kemudian, penerimaan negara dari pajak naik signifikan sebesar 32". menjadi Rp658,7 triliun.

Angka tersebut merupakan pencapaian terbesar dari Ditjen Pajak sejak enam tahun terakhir. Tidak mengherankan jika rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto juga naik, dari 12,4% pada 2007 menjadi 14,1% pada 2008.

Amat gamblang terlihat bahwa kerja cerdas yang inovatif dari Ditjen Pajak yang dipimpin Darmin Nasution menghasilkan dua kesuksesan sekaligus, yakni kesuksesan kuantitatif dan kualitatif.

Kesuksesan kuantitatif dibuktikan dengan kenaikan penerimaan pajak. Kesuksesan kualitatif tecermin dari kegairahan luar biasa dari wajib pajak untuk memperoleh nomor pokok wajib pajak dan menyerahkan SPT.

Karena itu, apresiasi yang tinggi parut dialamatkan kepada para wajib pajak dan jajaran Ditjen Pajak. Terobosan seperti sunset policy harus terus digalakkan agar rasio penerimaan pajak terus meningkat sehingga APBN kita aman.

Kini, tinggal bagaimana pemerintah membelanjakan uang rakyat dari pajak tersebut secara tepat dengan prioritas utama untuk rakyat. Bukan untuk tujuan politis ataupun memoles citra untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan.


Label:

posted by rahman.sur @ 08.22   1 comments
Tulisan Terakhir

Subscribe to RSS headline updates from:
Powered by FeedBurner

Tulisan Sebelumnya
Arsip
Tautan
Pendukung Blog


Masukkan Code ini K1-7543F3-9
untuk berbelanja di KutuKutuBuku.com

BLOGGER

© Mantri Pajak Blogger Templates by Isnaini Dot Com and Car Pictures